Tepat sepekan yang lalu aku bersama temanku melaksanakan touring. Kini aku akan menceritan ratusan kisah selama touring kami. Oke, saatnya duduk manis kawan.
Senin, 21 April 2014
Senin, 21 April 2014
Senin adalah awal dari dimulainya hirukpikuk setelah akhir pekan. Senin yang biasanya identik dengan penatnya jadwal pelajaran. Hari yang menjadi momoknya penghuni metropolitan. Namun, opini semua itu akan kami tepis pada senin ini. Bahkan, kami menunggu kedatangan hari ini. Pasti kalian para pembaca bertanya-tanya, ada apa sih dengan ini? Tenang-tenang, belanda masih jauh kawan. Oke dah, daripada kamu-kamu pada penasaran mending aku yang penasaranin kamu, iya kamu... . Aku dan 9 temanku hari ini akan melenggang ke atapnya Jawa Tengah, kalian taukan? Yap benar, Dieng. Ini aku sebutin siapa saja 9 insan tersebut, urut absen yak. Adhit alias om (@Om_Dhit), Alip (@Allief19). Fajar (@fajariskandar), Filemon (@benayatheo), Hanip (@haniefgta), Nopal (@NZP_), Sandro (@Meyssandro), Rere (@ambient_3900), resila (@adhinawasapta). Itu bersama akun twitter mereka, monggo di follow barangkali jodoh. Ett, sebelumnya follow yang ini dulu dong @Anjas_Yn dijamin yahud.
Langsung saja, akhirnya pada pukul sekitar setengah 2 siang kami siap bertolak dari kediaman filemon di bukit cinta, u... romantis. Ya lumayan ontime juga dari rencana yang telah diputuskan yaitu pukul 13.00. Sebelum bertolak pastilah kami berdoa dahulu dengan harapan perjalanan ini diridhai Allah. Tak lupa, jika ada kamera, maka berfoto ria. Yah, itulah kebiasaan remaja. Setelah prosesi berlangsung khidmat, start engine dan berangkat... OiOiOiOiOi Hoi. TOURING CERIA
Aku berboncengan dengan kawan sebangku sehatiku, dialah Sandro. Selama di perjalanan kami bersepuluh sempat dibuat dilema oleh awan yang kiranya tak berbuat apa-apa. Godaan berupa grimis memaksa kami untuk sejenak berhenti dan hendak memakai mantel anti hujan. Kami berhenti 2 kali untuk memakai mantel dan keduanya terindikasi PHP *capslock bibeh . waktu Ashar mulai merapat ke perjalanan kami. Kira-kira pukul 16.00, kami berhenti di Masjid Al-Taqwa di daerah Temanggung untuk menunaikan sholat Ashar. Selain kami sholat, kami jadikan Masjid ini sebagai checkpoint pertama kami. Sekadar untuk ngemil-ngemil dan meregangkan otot-otot yang mungkin tegang selama perjalanan berlangsung. Wow tegang!! Yang mana? Jika kalian lewat di jalan yang mengarah ke kota Temanggung, lihatlah Masjid ini di kiri raga anda. Tak ada yang aneh memang, tapi seolah keanehan muncul ketika kami baru saja selesai sholat berjamaah tiba-tiba bapak yang sudah stay di situ mengumandangkan adzan ashar. Sontak, hal itu menumbuhkan ratusan tanda tanya yang sekaligus menjadi buah bibir. Padahal sebenarnya adzan ashar sudah berkumandang dari tadi. Entah bagaimana tradisi di sini. Kami pun tidak mempermasalahkan itu berlebihan. Perjalanan pun segera dimulai kembali.
Ketika kami melewati jalan Parakan yang menjadi salah satu jalan ekstrim untuk menuju Wanasaba kami tiba-tiba melihat kerumunan warga setempat di sekitar jembatan yang akan kami lewati, di situ pula terdapat polisi yang berjaga-jaga. Benakku berkata “wah ada operasi nih, siap-siap keluarkan SIM A hehe”. Ternyata benakku salah, di sisi kiri kami terdapat truck yang terjerumus ke jurang. Wajar, memang jalan tersebut memiliki kelokkan tajam. Senja mulai tiba dan matahari bergegas kembali ke peraduannya. Entah dosa apa aku dan Sandro saat itu. Di jalanan yang sepi ada anak kecil yang sedang berduaan menyusuri jalan *ciyeee terlihat dari propertinya mungkin mereka pulang dari ngaji. Tiba-tiba yang perempuan berlari menyeberangi jalan. Yang benar saja, Sandro yang menunggangi sang kuda besi tentu saja tidak dapat menghentikannya seketika dan senggolan tak terelakkan. Untung aku dan sandro tidak jatuh, namun anak itu meluncur deras di atas aspal. Namanya juga anak kecil, pasti menangis. Takut campur imut, deg deg kan campur tangisan. Warga desa pun berkerumun, anehnya, mereka malah menyuruh kami pergi daripada nanti masalah semakin rumit. Ucapan maaf serta terima kasih tak lupa kami aturkan. Kebetulan teman-teman yang lain sudah melenggang jauh dari kami. Jadi si V-ixion putih berjalan sebatang kara.
Akhirnya kami dipertemukan kembali dan saat itu juga kami berniat untuk mencari makan sekaligus untuk beristirahat serta sholat maghrib sekaligus isya. Warung bakso dan mie ayam berhasil menggaet pandangan kami. Kami pun singgah ke warung tersebut sekaligus menjadi checkpoint kedua kami. Seraya kami menunggu pesanan mie yang tak kunjung datang, kami tak ingin meninggalkan moment untuk berfoto-foto, biasalah anak muda hehe. Perut kenyang sholat udah, sebelum bergegas foto-foto lagi dong.
Perjalanan dilanjut kembali, Sandro pun menyerahkan kemudi kepadaku. Sekitar pukul 19.00 kami tiba di kota Wonosobo. Saat sampai disini jujur aku sempat kebingungan. Seingatku dulu dieng itu belok kanan, itulah yang terus menerus yang ada di benakku. Tiba-tiba ada belokan ke kanan, sayang jalannya ditutup terpaksa kami harus mengikuti jalan satu arah. Jalan yang serba satu arah itulah yang membuatku bingung. Aku yang dipandang paling mengerti jalan menuju dieng itulah yang membuatku mengeluarkan insting navigasiku. Sengaja aku berjalan perlahan dan ku mencari plat hijau besi lebar penunjuk arah. Ketika kumenemuinya aku sedikit lega, ternyata jalan yang kulewati tidak salah dan di plat tersebut benar menunjukkan arah dieng belok ke kanan. Sekitar jalan di kota Wonosobo kulihat taman-taman yang dirancang menawan di pinggir-pinggir jalan kota, serta melewati pusat kota yang penuh keramaian, terdapat pula alun-alun yang menjadi tempat berkumpulnya penikmat Wonosobo. Semakin kuturunkan kecepatan motor ini untuk tdak melewatkan suasana disini. Dibalut dengan udara yang sejuk cenderung dingin, menyegarkan mata dan pikiran kami serta jiwa raga kami.
Selanjutnya, tanjakan menuju puncak Dieng sudah menunggu kedatangan kami. Kabut dan kalut menyelimuti selama perjalanan menuju Dieng. Mereka semua tak ingin melewatkan untuk menyapa kami yang baru saja menyelesaikan ujian nasional kemarin. Pukul 20.00 tepat kami tiba di kawasan Dieng. Misi utama adalah mencari penginapan. Dari ratusan penginapan yang ada, hanya 1 yang lolos seleksi. Jreng jreng jreng. Sang finalis adalah... Homestay Tulip, yang diketuai oleh Ibu Dwi Astuti. Setelah melalui perdebatan yang panjang pemirsa, akhirnya DEAL *jabat tangan . Untuk 2 kamar dan 2 malam dihargai 500 ribu yang sebelumnya ditawarkan dengan 600 ribu. Fasilitas A1 dah, contohnya kamar mandi 2 plus water heater setiap km, selimut melimpah ruwah, teh kopi siap sedia, air putih pasti, ada seperti ruang keluarganya plus tv lcd dan sofa, parabola pula. Pokoknya sewa kamar seperti sewa rumah. Malam ini menjadi malam pertama kami di Dieng. Malam yang sangat bertolak belakang ketika di tanah Semarang. Udara panas diwakili udara dingin, asap tak ada kabut menerpa, keringat terhambat embun memikat, keramaian tertelungkup oleh kesunyian, yah itulah. Kami segera bergegas menarik selimut dan pergi ke alam mimpi agar mimpi kami melihat sunrise di Sikunir mejadi kenyataan, good night.
Pukul 03.30 tepatnya, pagi itu bukan kokokan ayam yang bersautan melainkan dering alarm berbagai jenis telepon genggam yang berlomba-lomba untuk membangunkan kami. dari semua itu yang paling bersemangat adalah alarm yang sering melontarkan kata “Bismillah” , ya itu alarm dari hp nya Fajar. Deringnya hampir terdengar disetiap sudut rumah dan deringnya tak cukup sekali tapi berkali-kali, super sekali. Beruntung dengan itu kami bisa terbangun dari alam bawah sadar kami. Memang, inilah the miracle of Bismillah. Waktu itu pula ibu Dwi Astuti datang dalam keadaan rumah terkunci. Bu Astuti menggedor pintunya sambil berkata dengan gaya logatnya “Ayoh jadi lihat sunrise ndak”. Sontak aku langsung membukakan pintunya. Adanya kedatangan bu Astuti kami langsung beranjak dari pulau kapuknya. Dia juga menyarankan kami untuk mengambil wudlu dahulu sebelum berangkat. Memang, dia adalah pengganti ibu kami selama di sini. Oke, kami siap sekitar pukul 04.00 kami bergegas untuk menuju bukit sikunir dipandu dengan sehelai peta buatan bu Astuti. Peta itu dilengkapi dengan kelak-kelok yang nyaris saja mirip dengan jalan aslinya serta dilengkapi pula dengan objek-objek yang kami lewati selama perjalanan. Mungkin aku harus berguru dengan ibu ini dalam membuat peta. Jalanan yang kami lewati gelap, sepi dan terjal, hanya sesekali ada beberapa masyarakat yang melintas menuju ke masjid untuk menunaikan sholat subuh. Tak lama kemudian kami tiba di ujung yaitu tempat parkir kendaraan para wisatawan yang hendak mendaki ke bukit sikunir.
Sebelum memulai pendakian kami berniat untuk melaksanankan sholat subuh dahulu di kawasan parkir. Kami pun meminta izin kepada salah satu pemilik warung untuk kami gunakan sholat. Alhamdulillah, ibu membolehkan kami sholat di warungnya sholat subuh. Ibu itu juga menyiapkan beberapa tikar sebagai alas kami. Menurut ibu tersebut pendakian menuju puncak kira-kira berlangsung 30 menit. Sebagai tanda terima kasih kami membeli beberapa dagangan yang dijajakan di warung itu. Jalan menuju pendakian berbentuk jalan setapak dan gelap, kami pun mengandalkan pada beberapa power bank dan senter kecil dari bu Astuti. Awalnya medan tidak berat. Namun, sampai di tengah perjalanan kaki kami pun mulai mengeluh kelelahan. Oksigen yang semakin berkurang juga menurunkan kekuatan kami untuk tetap mendaki. Kata-kata pembangkit semangat selalu kami lontarkan. Begitu sampai di puncak rasa takjub kami berhasil mengalahkan rasa dingin yang ingin menyusup ke jaket kami. Rasa takjub atas karunia Allah yang selama ini mungkin belum pernah kami lihat sebelumnya. Impas sudah dengan perjuangan kami untuk mendaki bukit ini. Kami pun tak kelewatan untuk melihat sunrise. Terlihat jelas puncak gunung Sindoro di sebelah kanan, sebelah kiri barisan bukit yang membentang panjang. Semburat oranye kekuningan tak luput dari pandangan kami. matahari yang malu-malu mengintip dari mega putih di bawah kami.
Sambil menunggu dan menikmati detik-detik matahari bangkit dari rahimnya kami pun berfoto-foto sekaligus selfie-selfie untuk mengabadikan momen ini, memotret alam yang indahnya tak tebantahkan. Kami pun juga meminta tolong ke salah satu pendaki untuk memfotokan kami bersepuluh. Hari mulai terang waktunya kami untuk turun dan kembali. Apalagi “morning call” yang digadang-gadang salah satu temanku untuk mengganti kata boker, ehh sensor!! “Morning call” memberi spirit kami untuk segera turun. Setibanya di parkir ternyata ada telaga. Telaga itu menggaet kami untuk mampir kesana. Kami tak berlama-lama di sini, kami segera menuju ke penginapan kembali. Akhirnya sunrise yang aku dan temanku nanti-nanti terwujud juga, yuhuuu!!! Sikunir ??
Kami beristirahat dulu setibanya di penginapan sebelum menuju ke destinasi berikutnya. Kami pun bergiliran untuk mandi berhubung Cuma ada 2 kamar mandi. Sambil menunggu mandi, kami isi waktu luang dengan bermain kartu, ada juga yang main catur. Canda dan tawa tak pernah kami lewatkan selam bermain. Kini giliranku intuk pergi mandi. Setelah aku selesai mandi kehebohan sedang berlangsung, aku pun heran ternyata tragedi sempak mencuat. Entah apa itu yang terpenting tragedi sempak, ehh sensor!! Tak terasa waktu menunjukkan pukul 10.30 dan kami bersiap menuju destinasi berikutnya yaitu telaga warna. Sebelum menuju ke telaga warna kami menyempatkan diri untuk mengisi perut yang sejak pagi tadi masih kosong. Kami mengunjungi salah satu warung makan di sana. Tak ada keanehan yang muncul di benak kami. Tapi, keanehan muncul di belakang. Iya, di waktu pembayaran. Awalnya salah satu teman kami hendak membayar, ia menceritakan apa saja yang ia makan dan mbak nya yang berjaga hanya bermodal anggukan kepala. Setelah selesai sontak “sepuluh ribu” ujar mbaknya. Oke belum muncul keanehan. Kedua, menceritakan bla bla bla bla “sepuluh ribu” saut mbaknya lagi. Ketiga, menceritakan bla bla bla bla “sepuluh ribu” saut mbaknya lagi. Begitu pula seterusnya. Padahal makanan yang di makan tidak berjenis dan berjumlah sama semua. Dapat ditarik kesimpulan bahwa harga di warung tersebut berpatok pada pembayar pertama. Entah, kami harus menyebut warung apa itu.
Setelah makan dan berdebat soal pembayaran tadi kami langsung saja menuju telaga warna. Ketika di perjalanan kami dicegat oleh petugas karcis. Katanya kami harus membeli karcis yang di patok dengan harga 18 ribu agar bisa masuk. Karcis itu termasuk untuk memasuki semua objek di daerah sini. Padahal kami hanya ingin ke Telaga Warna dan Kawah Sikidang. Kami pun mencoba meelobi-lobi tapi hasilnya tetap saja nihil. Petugas karcis tersebut tetap ngotot untuk memaksa kami membayar karcis tersebut. Karcis pun disuguhkan kepada kami dan diterima oleh salah satu dari kami. Tiba-tiba pun hujan turun tampa kami duga. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu hujan reda. Kami menunggu begitu lama dan hujan pun tak kunjung reda. Hasrat kami untuk membayar karcis tersebut yang malah kian mereda. Dalam pikiran kami hanya ada kata bosan, bosan, dan bosan. Berhubung tidak ada tanda-tanda hujan akan reda kami pun memilih untuk kembali ke penginapan saja. Kami dengan wajah datar kami hendak pamit dan sekaligus mengembalikan karcis. Namun, apa yang terjadi? Bapak petugas tidak mau menerima karcis itu lagi dengan alasan karcis itu sudah basah. Nanih... gimana ini? Perdebatanmu kembali terulang, kali ini masalah oengembalian karcis. Kami pun beradu alasan dengan petugas yang selalu ngebet agar karcis itu kami bayar. Setelah datang petugas lain perdebatan menjadi dingin, bapak itu mencoba mengecek karcis tersebut. Dengan alasan kami yang logis dan tidak ada kerusakan pada karcis, akhirnya ketok palu juga. Kemenangan berpihak kepada kami. Kami semua berhasil kembali ke penginapan tanpa harus membayar karcis itu tadi.
Sampai di penginapan kami
langsung copot-copot dan meniriskan air yang ada di jas hujan. Kami juga
menggantungkan celana kami yang basah. Untuk merilekskan pikiran dan tenaga
setelah kejadian tadi, kami beristirahat sejenak di penginapan. Tak lama di
penginapan hujan pun reda. Mungkin Allah tau kalau kami tidak ingin membayar
karcis tadi, makanya diturunkan hujan. Sungguh mulia. Selain beristirahat kami
pun mencoba untuk bermain kartu kambali, yag kalah dia yang jongkok.
Kami berniat untuk kembali menuju
Telaga Warna yang tadi sempat batal. Kami berkonsultasi dengan Bu Astuti dan
bertanya apakah ada jalan lain selain jalan yang kami lewati tadi. Ternyata ada
yaitu jalan memutar yang melewati museum Dieng. Sekitar pukul 3 sore
teman-temanku pergi mencari makan, tersisa hanya aku dan 2 orang temanku di
penginapan. Setelah semua temanku selesai makan kami bergegas menuju telaga
warna via jalan memutar.
Setibanya di telaga warna, kami hanya
ditariki seharga 2 ribu rupiah. Sungguh terlihat berbeda dengan tadi yang
seharga 18 ribu. Kalau beginikan bisa diajak kompromi, hemat pula. Kami masuk
ke telaga Warna pukul 16.00, padahal di kaca tertera tulisan “Tutup: 16.15 WIB”.
Masnya juga mengatakan yang intinya kita jangan berlama-lama karena akan segera
ditutup. Hal itu membuat temanku sedikit panik, aku pun menyakinkan mereka
bahwa itu hanya boongan, kalau kita udah masuk mereka pasti akan menunggu kita
sampai keluar. Temanku pun menjadi tenang kembali. Telaga Warna, iya, telaganya
berwarna. ”Tapi warna apakah yang ditampakkan?” Syarafku bertanya-tanya. Begitu
tiba di bibir danau, iya..., ada 3 warna di satu telaga. Warnanya antara lain putih,
hijau dan coklat. Alam ini selalu memilki keindahan yang tak ada habisnya.
Kami di sini biasalah
berfoto-foto mengabadikan momen di pinggir telaga tersebut karena kami
menganggap ini spot yang bagus. Kami juga berjalan-jalan di sekitar telaga
warna, ternyata bukan hanya Telaga Warna yang ditawarkan di sini. Melainkan terdapat
beberapa gua bersejarah dan kami menemukan macam-macam pohon yang unik. Setelah
sekian lama berjalan-jalan, kami berniat untuk kembali ke penginapan.
Jalan yang kami pilih untuk
kembali ke penginapan adalah jalan dimana post karcis yang tadi mencegat. Kami sengaja
melewati jalan tersebut dengan maksud mengejek petugas di sana bahwa kami bisa
masuk tanpa membayar 18 ribu. Oh tidaakk.. ternyata petugasnya sudah pergi dan
post nya kosong. Kami pun menyempatkan berfoto sejenak di depan pemandangan
alam yang indah khas daerah Dieng. Banyak sliwar-sliwer kendaraan yang melintas
sehingga kami agak kerepotan untuk mengambil gambar. Tapi, hal itu tidak
menyurutkan hasrat kami untuk tetap berfoto ria.
Selama di perjalanan kami juga
merekam perjalanan pulang kami menuju penginapan, sayang,. Video itu tak
berlangsung lama karena kartu memori sudah angkat tangan menyimpan foto, video
kasina. Kami tiba di penginapan kira-kira pukul 17.30.
Kami cukup kelelahan dan hampir
semua teman kami sudah berbaring, baik itu di kasur, di sofa, bahkan di lantai
sekalipun. Ketika aku hendak ingin tidur tapi aku tidak jadi tidur. Aku berniat
keluar kamar dan apa yang aku lihat? Tragedi kopi sedang berlangsung, aku pun
memfoto wajah temanku yang lagi tidur melongo seperti botol carica. Karena
melongo bibirnya dipenuhi dengan kopi dan difoto sana sini. Bagaimana pahitnya
mulut itu, huweehh!! Pokoknya lucu banget. Oke, guys jangan tiru adegan ini.
Maksud saya jangan tiru tidur sambil mlongo. Setelah itu aku benar-benar tidur.
Malam terakhir kami di sini dihebohkan oleh tragedi kopi.
Rabu, 23 April 2014
Senin telah berlalu, selasa juga
telah berlalu, dan tragedi kopi baru saja berlalu. Hari ini menjadi hari
pamungkas kami di Dieng. Biasa, kami harus mengantri dulu sebelum mandi karena
kiranya hanya ada satu kamar mandi yang aktif. Seperti yang aku diskripsikan
sebelumnya, kamar mandi di sini sebenarnya ada 2 karena kamar mandi yang
sebelah kanan air panasnya mengalirn ngicrit-ngicrit sehingga kami terlalu
memfavoritkan kamar mandi yang sebelah kiri. Jadi kami lama mengantri hanya
ingin mendapatkan kamar mandi sebelah kiri. Kami isi detik-detik terakhir kami
dengan bermain kartu. Iya, kami selalu bermain kartu saat waktu luang.
Peraturannya jelas, yang kalah maka dia harus jongkok. Tanpa adanya perjanjian,
peraturan itu tetap berlaku disetiap permainan kartu karena peraturan itu telah
menjadi tradisi yang mendarah daging.
Sebelum meninggalkan Dieng kami berkunjung
ke kawah Sikidang yang sekaligus menjadi destinasi terakhir kami. Ketka
melewati gapura menuju kawah, kami dicegat oleh petugas karcis. Kata petugas,
karcis masuk kawah Sikidang berpasangan dengan candi yang dipatok dengan harga
10 ribu. Berhubung kami hanya ingin mengunjungi kawah jadi kami mencoba
melobi-lobi petugas. Petugas kali ini tidak seperti petugas karcis waktu
kemarin, kali ini dia memperbolehkan kami hanya masuk kawasan kawah dengan
harga separuhnya, bahkan kami di diskon seribu per kepala. Total pembayaran
kami yakni 40 ribu. Kalau beginikan bisa hemat hehe. Ketika masih di perjalanan
menuju kawah sesekali bau belerang lewat hidung kami. Pipa panjang melintang
menyambut. Selama di Dieng ini kami selalu melihat pipa panjang yang
menjulur-julur di sisi perjalanan kami. Entah apa yang dialirkan di pipa itu.
Aku pernah baca bahwa di Dieng ini merupakan salah satu penghasil panas bumi di
Indonesia.
Begitu kami tiba di tempat
parkir, bau belerang sangat menyengat sekali. Banyak sekali pedagang yang
menawarkan masker. Awalnya aku tidak tertarik untuk membeli namun, setelah ku menimbang-nimbang
baik buruknya akhirnya aku membeli 1 masker. Ternyata semakin mendekat ke kawah
malah bau menyengat belerang semakin menghilang. Ada rasa menyesal ku membeli
masker, tapi aku anggap kenang-kenangan saja masker ini. Salah satu dari kami
ada yang terperosok lumpur kawah di situ. Sepasang sepatunya menjadi tak serasi
lagi. Oh sayang.., nasib cintamu seperti nasib sepatumu. Hunting foto menjadi
agenda yang tak pernah terlewatkan disetiap destinasi. Mau foto solo, double,
atau rombongan tak pernah habis gayanya. Maklum, di habitat kami tak ada yang
seperti ini. Awan hitam mulai berkerumun, kami harus bergegas pulang sebelum
hujan menyerbu kami seperti kemarin. Kami pun tak sempat menuju ke pusat kawah.
Sekitar pukul 11.30 kami angkat
kaki dari kawasan kawah Sikidang. Setibanya di penginapan, kebetulan waktu
sholat dhuhur baru saja masuk. Kami pun memutuskan untuk menunaikan sholat
dhuhur sekaligus dijamak sholat ashar. Setelah sholat selesai, bagi-bagi kursi
menteri dimulai, ehh bagi-bagi carica dimulai. Kami membeli 3 dus masing-masing
berisi 12 cup carica. Seusai bagi-bagi kami siap beranjak dari homestay Tulip
untuk kembali ke rumah manis kami. Sebelum pergi kami berpamitan dulu dengan Bu
Dwi Astuti yang selama kami di sini dia selalu peduli pada kami. Kami juga
meminta foto bersama dengan Bu Astuti agar kami selalu mengingatnya, ciyeee.
Inilah penghujung kami di sini, saatnya berpisah dengan Bu Astuti, warga Dieng,
dan juga dataran tinggi Dieng sendiri dengan keindahan alamnya yang tak pernah
ia sembunyikan pada kami. Ucapan Salam sebagai doa, senyum tanda keramahan,
lambaian tangan tanda perpisahan, tak lupa terimakasih kami haturkan. Bahagia,
haru, sedih menyatu dalam lubuk hati kami. Suatu saat kami semua akan kembali
dan bertemu lagi, ini bukanlah perpisahan yang hakiki. Bunga, Daun yang
bergoyang-goyang mengawali jejak perjalanan kami.
Kami pertama kali harus
mengarungi jalan yang menurun dari puncak Dieng untuk sampai di pusat kota
Wonosobo. Selaku driver, kali ini aku hanya mengandalkan rem, pedal gas pun
menunggu tak kunjung ku tekan. Bukan! Ku putar yang benar. Selama jalanan
menurun ada masalah yang menimpa kami, yaitu rem tangan atau rem ban depan
motor Revo gelap tiba-tiba tidak berfungsi. Sontak saja, Om selaku sang pemilik
panik. Bahkan ia malah menyuruh untuk dituntun saja motor itu. Padahal turunan
curam masih panjang di depan. Akhirnya kami memutuskan untuk memperlambat laju
kendaraan. Kami mencari bengkel untuk memperbaiki motor itu. Salah satu teman
kami mencoba menyiram bannya dengan air. Dan apa yang terjadi? Deng...*melodi
tegang berbunyi. Rem itu kembali mencengkram. Apakah tadi loyo? Tidakk!! Cuman
kepanasan jadinya anti klimaks *mulai ngaco . iya, ternyata remnya cuman kepanasan
karena selama jalan menurun yang paling diandalkan adalah rem. Masalah sudah
selesai perjalanan normal kembali.
Ketika sampai di pusat kota
Wonosobo aku kembali menuai kebingungan. Iya, cuman satu masalahnya lagi-lagi jalan
satu arah. Tapi kali ini tak sebingung waktu keberangkatan karena kiranya aku
pernah lewat jalan tersebut sebelumnya. Kota Wonosobo telah kami lalui, dan
selama ini perjalanan masih kondusif. Kami melewati jalan yang sama dengan
keberangkatan waktu lalu. Ketika kami sampai di Temanggung awan hitam mulai
menyelimuti kami dan hujan pun tak terelakkan. Kami menyempatkan diri untuk
berhenti menggunkan mantel hujan. Mantel sudah siap menutupi badan kami
masing-masing. Saat kami akan berangkat. Suatu tragedi terjadi. Tragedi lagi
tragedi lagi. Iya, tragedilah yang menyatukan kami. Tanpa diduga tragedi kunci
terjadi. Kunci yang sudah menempel runtuh hanya karena terhempas jas hujan. Kunci
tersebut adalah kunci si revo hitam. Revo again man. Tak tanggung-tanggung
kunci tersebut langsung jatuh ke lubang kecil yang di bawahnya ada selokan
dengan aliran yang deras. Panik? Pasti! Stay cool? Aku banget! Teman kami om
dhit berniat untuk nyemplung ke kali. Ketegangan meningkat seketika. Apalagi
kedatangan salah seorang bapak malah semakin memperkeruh suasana. Seingatku dia
berkata “wes angel, rak bakal ketemu nek nyemplung ning kono. Mbiyen yo pernah
ono kunci nyemplung tapi rak ketemu. Nek ketemu yo bejomu”. Usaha teman kami itu
pun tak menghasilkan apa-apa alias nurhil, ehh..nihil maksudku. Temanku Hanif
dan Sandro pergi mencoba mencari tukang kunci. Alip dan Nopal mencoba terjun ke
TKP. Nopal sempat terperosok ke pleret badannya pun basah setengah. Percarian
ini kami lakukan sendiri tanpa bantuan dari negara tetangga manapun
#nyindirMH370. Dengan kesabaran dan ketelitian akhirnya kunci tersebut dapat ditemukan.
Penemunya adalah Alip *prokprokprok aye! Begitu mendengar kunci sudah ditemukan
kami langsung menghubungi Hanip dan Sandro untuk segera kembali.
Ketika semua sudah kembali
termasuk kunci yang akhirnya kembali, perjalanan kami mulai kembali. Beruntung,
saat itu juga hujan malah reda. Checkpoint pertama kami kali ini adalah rumah
budhe Nopal yang beralamat di Temanggung. Lumayanlah di sana kami disodorkan
es, spageti dan ada lagi lah. Nikmat banget dah hehe.
Pukul 17.00 tepatnya kami
beranjak dari kediaman rumah Budhe nya Nopal. Perjalanan kali ini berlangsung
kondusif, lancar, dan aman , Alhamdulliah. Begitu kami memasuki Kabupaten
Semarang tibalah waktu sholar maghrib. Kami pun mencari masjid atau spbu untuk
menunaikan sholat maghrib. Akhirnya kami menemukan SPBU dan itu menjadi
checkpoint kedua kami.
Perjalanan dimulai kembali. Aku,
sandro, rere, dan momon tiba-tiba terpisah dari teman kami lainnya. Aku selaku
driver tetap stay cool. Berharap mereka menunggu ku di depan hehe. Begitu sampai
Bawen kami harus menghadapi kemacetan. Biasalah kemacetan sudah menjadi makanan
sehari-hari di Bawen. Tiba-tiba salah satu teman kami menelpon Sandro. Dia menanyakan
sedang dimana aku berada. Ternyata mereka masih di belakang ku. Aku, Sandro,
Rere, dan Momon menunggu mereka di depan RS Ken Sa-tiiit *sensor. Setelah itu
kami bersatu kembali.
Pukul 08.00 kami tiba di kediaman
Filemon. Syukur Alhamdulillah kami semua utuh tanpa kurang sesuatu apapun. Perjalanan
kali ini begitu berkesan. Banyak pengalaman dan pelajaran yang kami dapatkan
pada touring kali ini. Banyak kisah-kisah yang disaksikan oleh alam. Akrab dengan
aspal, akrab dengan alam. Kebersamaan lah kunci utama. Terima kasih alam,
terima kasih kawan.
Aku menunggu touring-touring berkesan
lainnya.
Anjas pandai nulis nih, ditunggu kisah selama kuliahnya mana? Hehe
BalasHapusAnjas pandai nulis nih, ditunggu kisah selama kuliahnya mana? Hehe
BalasHapus